Slamet Rahardjo berpendapat, syuting film yang dilakukan di Yogyakarta selama ini alur ceritanya tak berkaitan langsung dengan kota pelajar tersebut. Dengan kata lain bahwa Yogya hanya dijadikan sebagai 'tumpangan' untuk syuting belaka. Padahal seharusnya bisa diproduksi film yang menonjolkan Yogyakarta.
Slamet Rahardjo
"Siapa yang menyangkal bahwa sebagian besar seniman nasional berasal dari Yogyakarta? Siapa yang menyangkal bahwa Yogyakarta memiliki peran besar dalam perfilman nasional? Namun sayangnya tidak banyak film yang benar-benar mengangkat Yogyakarta," kata aktor dan sutradara kawakan film nasional itu di Yogyakarta, Selasa (24/8).
Ia mengatakan belakangan ini Yogyakarta sekadar menjadi lokasi syuting film televisi (FTV) yang tema ceritanya terkadang tidak ada kaitannya dengan kota ini.
"Di FTV, Yogyakarta hanya menjadi tempat mampir pengambilan gambar, tetapi substansi yang diangkat FTV tersebut sama sekali tidak mencerminkan Yogyakarta," katanya.
Menurut dia, FTV tersebut sebenarnya merupakan penghinaan bagi masyarakat Yogyakarta karena mereka memanfaatkan kota ini, datang tanpa 'kulo nuwun', tanpa mengetahui bagaimana sejatinya jalan pikiran masyarakat Yogyakarta.
"Biaya pembuatan film memang cukup besar sehingga dibutuhkan pihak yang memang peduli dan berkomitmen tinggi terhadap dunia perfilman khususnya di Yogyakarta," katanya.
Slamet mengatakan, di Yogyakarta tidak ada orang yang mau mengeluarkan uang untuk membuat film, padahal banyak sisi Yogyakarta yang dapat diangkat ke dalam film.
"Yogyakarta harus mendirikan sebuah komunitas film yang bisa dipandang oleh masyarakat kota ini, bahkan di tingkat nasional," katanya.
Ia mengatakan hanya ada beberapa film yang mampu menerjemahkan jalan pikiran sejati masyarakat Yogyakarta ke dalam layar lebar.
"Seingat saya hanya ada film 6 JAM DI JOGJA karya Usmar Ismail dan NOVEMBER 28 karya Teguh Karya yang benar-benar mampu menerjemahkan Yogyakarta secara utuh ke dalam sebuah film," katanya. (ant/bun)
0 komentar:
Posting Komentar